Senin, 20 Juni 2016

Hujan Kelabu

     Sekarang bulan juni, tetapi entah mengapa hujan selalu ingin kembali turun kebumi meski bukan musimnya.

     Awan - awan gelap berkumpul, membentuk suatu kawanan tak berbentuk yang sedikit mengerikan. Mencoba menutupi keceriaan matahari yang menyinari hari. Sekilat cahaya perlahan muncul memberi kesan misterius disana. Gemuruh suara mengikuti seiring dengan cahaya kilat yang berlalu.

     Tik..tik..tik.. satu persatu tetesan air mulai menyentuh tanah. Rindu akan sentuhan air mungkin yang dirasakan oleh tanah kala itu terobati. Mereka bersuka cita akan jatuhnya kembali gemercik – gemercik air yang singgah.

Aroma khas itu datang.
     Salah satu aroma yang aku rindukan dan aku tunggu ketika musim hujan datang. Aroma -yang aku tidak tahu nama ilmiahnya-  yang dapat memberikan rasa tenang dan tentram, dan dapat membangunkan kenangan yang terasa pahit setiap dirasakan.

     Aku keluar dari tempat persembunyianku selama ini. Memasuki pekarangan dibelakang rumah ku, aku mendongkak keatas. Membiarkan tetesan – tetesan hujan memgenaiku dan mulai membasahiku. Dengan reflek diriku tersontak kaget, percikan – percikan air yang tadinya damai menyentuh diriku kini jatuh lebih keras seakan kian marah. Mereka mulai menyerang dengan bertubi – tubi menghujani tubuh ku. Aku diam. Mencoba untuk menikmati sakit yang diberikan oleh ribuan hujan yang jatuh.

     Sakit yang kurasa mungkin tidak setimpal dengan apa yang telah aku perbuat.

Aku menangis.

     Air mata yang membasahi pipiku menyatu dengan derasnya air hujan yang masih mengenaiku.
Aku berteriak. Menangis sejadi – jadinya.

     Hujan yang begitu deras dan petir yang menggemuruh mengunci semua teriak histerisku. Hanya ada bunga layu dan rumput hijau yang bersuka cita yang menjadi saksi bisu kala aku menghukum diriku sendiri. Dan ini belum cukup. Belum sepenuhnya cukup untuk mengobati rasa penyesalan yang terlambat aku sadari.

Aku berteriak sekali lagi.

Memaki betapa bodohnya diriku dan ku katakan aku benci pada diriku sendiri.


     Cahaya kilat sekali lagi terlihat di sekitar deretan awan hitam. Suara petir itu menggelegar sangat keras, mengagetkan hingga aku jatuh tersungkur.
Aku masih terisak. Dan masih membiarkan hujan ini menghakimiku dengan sesukanya.